MAKALAH
AYAT
DAN HADIS TENTANG KONSUMSI DAN BERBELANJA
Diajukan untuk memenuhi salah
satu tugas dari
Dosen pengampu: Bpk. H. Zaenal Abidin Lc.
Disusun oleh:
1.
Aurum Mukaromah (1803251)
2.
Laras Aisah (1803191)
3.
Nisa Tsamrotul puadah (1803220)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM TASIKMALAYA
TAHUN
AJARAH 2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pendidikan
kewarganegaraan.
Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua
itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami
berharap semoga makalah metodologi pendidikan islam ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
Tasikmlaya, Maret 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Konsumsi dan jual beli aktifitas ekonomi masyarakat
setiap hari baik yang dewasa maupun anak kecil. Menjalankan keduanya harus
berdasarkan syariat islam. Allah telah memerintahkan kita membelajakan harta
dengan baik dan benar begitu juga dengan mengonsumsi makanan yang halal.
1. Jelaskan makna
konsumsi menurut al-qur’an?
2. Jelaskan makna jual
beli dalam syariat islam?
3. Sebutkan
macam-macam jual beli beserta rukun dan syaratnya?
Konsumsi
adalah bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju
kebahagiaan dunia dan akherat. Berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah
maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban.
Keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan.
Berkonsumsi dalam Islam tidaklah sembarang memakan makanan yang ada, dalam
islam mengonsumsi makanan harus halal, suci, dll. Sebagai mana dalam surat
Al-Baqarah ayat : 168
ا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ
حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Setelah Allah swt. menjelaskan
bahwasanya tiada sembahan yang hak kecuali Dia dan bahwasanya Dia sendiri yang
menciptakan, Dia pun menjelaskan bahwa Dia Mahapemberi rezeki bagi seluruh
makhluk-Nya. Dalam hal pemberian nikmat, Dia menyebutkan bahwa Dia telah membolehkan
manusia untuk memakan segala yang ada di muka bumi, yaitu makanan yang halal,
baik, dan bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal
pikirannya. Dan Dia juga melarang mereka untuk mengikuti langkah dan jalari
syaitan, dalam tindakan-tindakannya yang menyesatkan para pengikutnya, seperti
mengharamkan bahirah, saibah, washilah, dan lain-lainnya yang ditanamkan
syaitan kepada mereka pada masa Jahiliyah.
Sebagaimana yang dijelaskan
dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, yang diriwayatkan
dari Iyadh bin Hamad, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Allah Ta’ala
berfirman, ‘Sesungguhnya setiap harta yang Aku anugerahkan kepada
hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka’. [Selanjutnya disebutkan] Dan Aku pun
menciptakan hamba-hamba-Ku berada di jalan yang lurus, lalu datang syaitan
kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka serta mengharamkan atas
mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka”‘.
(Bahirah, ialah unta betina
yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina
itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh
diambil air susunya. Saibah, ialah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana
saja disebabkan sesuatu nadzar. Washilah, ialah seekor domba betina melahirkan
anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina maka yang jantan disebut
washilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.)
Adapun makanan yang baik dapat dipertimbangkan
dengan akal dan ukurannya adalah kesehatan. Artinya makanan yang baik itu
adalah yang berguna dan tidak bersifat kondisional, tergantung situasi dan
kondisi manusia itu sendiri. Misalnya, daging kambing baik untuk penderita
darah rendah, namun tidak baik untuk penderita darah tinggi. Dan disisi lain
makanan tersebut juga harus diolah dengan benar dan dibuat sesuai dengan yang
memakannya. Makanan yang baik juga tidak mengandung zat yang membahayakan tubuh
manusia sehingga tidak merusak jaringan tubuhnya.
Dalam riwayat al-Hafiz Abu Bakar bin Murdawaih
dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Demi zat yang diri Muhammad
Saw ada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya yang memasukkan sesuap makanan haram
kedalam perutnya, ibadahnya
tidak akan diterima Allah selama 40 hari. Hamba
mana saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, api neraka lebih
layak untuk melahapnya.”
Islam memposisikan konsumsi
sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju
kebahagiaan dunia dan akherat. Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya
adalah maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan
kewajiban. Keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan
pemenuhan. Dalam Islam pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama
(pemenuhan kebutuhan dasar), akan dilakukan ketika memang secara kolektif
keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang stabil. Pemanfaatan
konsumsi dalam kehidupan sehari-hari merupakan kebutuhan utama yang harus
dipenuhi.
Terutama untuk melakukan kehidupan
langsung di masa mendatang. Bahkan konsumsi sangat sensitif untuk dibahas,
karena banyak perbedaan di antara beberapa daerah. Sedangkan untuk beberapa
hukum yang ada dapat dipakai sebagai pedoman kehidupan sehari-hari. Apa yang
dikaruniakan Allah kepada manusia sungguh banyak dan tidak terhitung.
Ada beberapa dalil yang
menerangkan tentang konsumsi yang bisa
dijadikan sebagai acuan bagi
seseorang:
1.
Anjuran untuk tidak
berlebih-lebihan dalam berkonsumsi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf (7): 31)
Ayat ini merupakan bantahan
terhadap kaum musyrikin yang melakukan thawaf di Baitullah sambil telanjang
secara sengaja; laki-laki berthawaf pada siang hari dan perempuan pada malam
hari. Maka Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika
memasuki masjid”. Yang dimaksud “perhiasan” di sini ialah pakaian untuk
menutupi aurat. Kaum musrikin disuruh mengenakan baju setiap kali mau memasuki
masjid. Berdasarkan ayat ini dan sunnah yang semakna dengan ayat itu, maka
disunahkan untuk mempercantik diri setiap kali melakukan shalat, terutama
shalat Jum’at, shalat Jamaah dan shalat Idul Fitri. Memakai parfum dan bersiwak
merupakan pelengkap dalam menghias diri. Selain itu, ayat ini juga merupakan
anjuran untuk tidak berlebihlebihan dalam berkonsumsi.
2.
Anjuran mengkonsumsi yang baik
dan halal.
3.
Mengkonsumsi sesuatu dengan
menyebut nama Allah, hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah:
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ
كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
“Maka makanlah
binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’am (6): 118)
Allah membolehkan kepada hamba-Nya yang beriman memakan sembelihan yang
dibacakan nama Allah atasnya. Artinya, Dia melarang memakan sembelihan yang
tidak dibacakan nama Allah, seperti memakan bangkai yang dibolehkan oleh kaum
kafir Quraisy dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada umat Islam perkara yang diharamkan kepada
mereka, kecuali apa yang terpaksa mereka memakannya (dalam kondisi madharat).
4.
Dalam mengkonsumsi harus punya
prinsip.
Menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram.
5.
Larangan bakhil dan boros dalam
berkonsumsi. sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ
وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’ (17): 29)
a.
Dalam membelanjakan harta harus
dalam kategori kebaikan dan menjauhi sikap kikir. Hal ini menjadi dasar bahwa
harta yang diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun
atau sekedar dihitung tetapi digunakan untuk kemaslahatan umat. Harta yang
dititipkan kepada manusia bukan milik pribadinya tetapi ada hak orang lain
didalamnya. Hal ini membuat manusia diharuskan untuk mengeluarkan zakat, infaq,
shadaqah dan wakaf.
b.
Dalam menggunakan harta tidak
melakukan kemubadziran. Hal ini membuat manusia dilarang untuk bersikap boros
atau berlebih-lebihan. Dalam mengeluarkan hartanya, manusia harus memiliki
pengertian terhadap kebutuhan yang paling penting untuk pribadi dan keluarga.
Meskipun dalam ayat di atas melarang adanya sifat kikir, tetapi pada ayat
diatas juga melarang adanya pemborosan dalam hal penggunaan harta untuk
konsumtif dan dalam memberikan sebagian hartanya sebagai zakat, infak, sadaqah
dan wakaf. Jadi, manusia harus mengerti adanya pola keseimbangan dalam
penggunaan hartanya.
6.
Allah menjelaskan tentang
kesederhanaan sebagaimana dalam firman Allah SWT yang artinya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ
مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. al-Ma’idah (5): 87)
Arti penting ayat ini adalah
kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh,
demikian pula bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya
pada perut. Pemanfaatan konsumsi secara berlebih-lebihan merupakan ciri khas
masyarakat yang disebut dalam Islam dengan istilah isyraf (pemborosan) atau
tabzir (menghabur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan
harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang
seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tidak
sesuai dengan aturan syari’at.
Jual beli (belanja) dimasyarakat
merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia.
Tetapi jual beli yang benar menurut
hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula
yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutanketentuan yang di tetapkan oleh
hukum Islam dalam hal jual beli (belanja).
Ada sebagian ulama memberikan
pemaknaan tentang jual beli (belanja),
diantaranya; ulamak Hanafiyah “ Jual
beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang
di bolehkan) syara’ yang disepakati”.
Menurut Imam nawawi dalam al-majmu’
mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
1)
Dasar hukum jual beli
Dasar hukum jual beli adalah al-Qur’an dan
alhadits, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya (Q.S.Al.Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat tersebut dapat
diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada
hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung
riba.
Dalam Hadis lain yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi, Rasulullah SAW bersabda:
Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari
jual beli melempar kerikil dan jual beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th :
156-157).
Berdasarkan hadist diatas bahwa
jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi
hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi
ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan harga melonjak naik.
Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh memaksa para
pedagang menjual baraang sesuai dengan
harga dipasaran dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam
menentukan harga dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena
tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat. Ulama telah
sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian,
bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan
pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya.
2)
Rukun dan syarat jual beli
dalam islam
Rukun diartikan dengan sesuatu yang
terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya
sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau
tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan
jasad menjadi rukun bagi sifat, dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur
bagi sifat (yang mensifati).
Adapun syarat, menurut terminologi para fuqaha
seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang
ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri.
Menurut jumhur ulama rukun jual
beli itu ada empat yaitu:
a.
Akad (ijab kobul) pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan
yang ada diantara ujung suatu barang.
b.
Orang yang berakad (subjek) dua
pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari (pembeli). keduanya harus :
Ø Beragama islam.
Ø Berakal.
Ø Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya sendiri
yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak dipaksa.
Ø Baligh.
Ø Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir yaitu
para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah
manusia yang boros (mubazir).
c.
Ma’kud ‘alaih (objek) untuk
menjadi sahnya jual beli harus ada ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual
beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.
Barang yang dijadikan sebagai
objek jual beli ini harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
v Bersih barangnya.
v Dapat dimanfaatkan.
v Milik orang yang melakukan akad.
v Mengetahui jenis barangnya, zatnya, sifatnya, bentuknya, dan harganya.
v Barang ada yang diakadkan sudah ada ditangan pemilik.
v Mampu menyerahkan.
d.
Ada nilai tukar pengganti
barang.
Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya;
(a) harus suci dan tidak
terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi
dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk pupuk tanaman,
anjing untuk keamanan,
(b) tidak boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal,
aku akan menjual motor ini,
(c) tidak boleh di batasi
waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi
hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu sebab kepemilikan,
(d) barang dapat diserahkan
setelah kesepakatan akad,
(e) barang yang diperjual
belikan milik sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut
hasil mencuri atau barang titipan yang tidak diperintahkan untuk menjualkan,
(f) barang yang diperjual belikan
dapat diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui
kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan
keraguan.
3)
Macam macam jual beli
§ Jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan rukun dan syarat
yang sesuai.
§ Jual beli yang tidak dibolehkan:
ü Jual beli yang diharamkan (jual beli bangkai, darah, babi, berhala, arak
, dll)
ü Jual beli sperma (mani) hewan.
ü Jual beli ijon atau jual beli yang belum jelas barangnya.
ü Jual beli barang yang belum ada wujudnya ditangan.
§ Jual beli yang sah tapi dilarang
·
Jual beli pada waktu shalat
jum’at. Kegiatan jual beli ini dipandang melalikan kewajiban menunaikan sholat
jum’at. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman
apabila diserukan untuk menunaikan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah
kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumuah :9)
·
Niat untuk ditimbun.
Dalam jual belipun ada proses tawar menawar (khiyar), hukum tawar menawar
hukumnya mubah (boleh). Tawar menawarterbagi menjadi 3 macam yaitu:
a.
Khiyar majelis dinyatakan gugur
apabila dibatalkan
penjual dan pembeli setelah
akad, apabila salah satu dari
keduanya membatalkan maka
khiyar yang lain masih
berlaku dan khiyar terputus
apabilah salah satu dari
keduanya telah meninggal dunia.
b.
Khiyar Syarat, yaitu penjual
dan pembeli di
dalamnya disyaratkan sesuatu
boleh penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai di
beli kalau tidak pas atau tidak
cocok boleh di kembalikan.
Dalam penjualan yang di
dalamnya disyaratkan sesuatu
yang baik oleh penjual maupun
pembeli.
c.
Khiar Aib, dalam jual beli ini
disyaratkankesempurnaan benda – benda yang dijual belikan, misalnyajika kita
beli krudung satu kodi ternyata samapai rumahada yang cacat boleh dikembalikan.
Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang yang telah dibeli ternyata ada
kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalikan barang tersebut kepada
penjual.
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulanya adalah kita selaku masyarakat ekonomi harus mengetahui
tentang mengonsumsi sesuatu, dan dapat melakukan jual beli menurut rukun dan
syarat yang telah ditentukan. Dan melakukan proses tawar menawar dengan cara
yang baik dan benar.
Web:
https://www.bacaanmadani.com/2018/03/isi-kandungan-al-quran-surat-al-baqarah.html
Jurnal:
Tapsir ayat-ayat konsumsi dan inpikasinya terhadap pengembangan ekonomi
islam oleh abdurrohman kasdi
Jual beli dalam perdagangan islam oleh shoribin
Buku:
Ayat dan hadist ekonomi karya
Dr. Mardani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar