Rabu, 08 Mei 2019

Makalah ( Ayat dan Hadist Ekonomi Konsumsi dan Jual-Beli) - Laras Aisah


MAKALAH
AYAT DAN HADIS TENTANG KONSUMSI DAN BERBELANJA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari
Dosen pengampu: Bpk. H. Zaenal Abidin Lc.





Disusun oleh:
1.      Aurum Mukaromah (1803251)
2.      Laras Aisah (1803191)
3.      Nisa Tsamrotul puadah (1803220)




PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TASIKMALAYA
TAHUN AJARAH 2018/2019

KATA PENGANTAR



Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pendidikan kewarganegaraan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah metodologi pendidikan islam ini  dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
           

Tasikmlaya, Maret  2019


                                                                           Penyusun








DAFTAR ISI






BAB I  PENDAHULUAN




Konsumsi dan jual beli aktifitas ekonomi masyarakat setiap hari baik yang dewasa maupun anak kecil. Menjalankan keduanya harus berdasarkan syariat islam. Allah telah memerintahkan kita membelajakan harta dengan baik dan benar begitu juga dengan mengonsumsi makanan yang halal.


1.      Jelaskan makna konsumsi menurut al-qur’an?
2.      Jelaskan makna jual beli dalam syariat islam?
3.      Sebutkan macam-macam jual beli beserta rukun dan syaratnya?

       




         Konsumsi adalah bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban. Keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berkonsumsi dalam Islam tidaklah sembarang memakan makanan yang ada, dalam islam mengonsumsi makanan harus halal, suci, dll. Sebagai mana dalam surat Al-Baqarah ayat : 168

ا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ


“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Setelah Allah swt. menjelaskan bahwasanya tiada sembahan yang hak kecuali Dia dan bahwasanya Dia sendiri yang menciptakan, Dia pun menjelaskan bahwa Dia Mahapemberi rezeki bagi seluruh makhluk-Nya. Dalam hal pemberian nikmat, Dia menyebutkan bahwa Dia telah membolehkan manusia untuk memakan segala yang ada di muka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya. Dan Dia juga melarang mereka untuk mengikuti langkah dan jalari syaitan, dalam tindakan-tindakannya yang menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahirah, saibah, washilah, dan lain-lainnya yang ditanamkan syaitan kepada mereka pada masa Jahiliyah.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, yang diriwayatkan dari Iyadh bin Hamad, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya setiap harta yang Aku anugerahkan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka’. [Selanjutnya disebutkan] Dan Aku pun menciptakan hamba-hamba-Ku berada di jalan yang lurus, lalu datang syaitan kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka serta mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka”‘.

(Bahirah, ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya. Saibah, ialah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja disebabkan sesuatu nadzar. Washilah, ialah seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina maka yang jantan disebut washilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.)

Adapun makanan yang baik dapat dipertimbangkan dengan akal dan ukurannya adalah kesehatan. Artinya makanan yang baik itu adalah yang berguna dan tidak bersifat kondisional, tergantung situasi dan kondisi manusia itu sendiri. Misalnya, daging kambing baik untuk penderita darah rendah, namun tidak baik untuk penderita darah tinggi. Dan disisi lain makanan tersebut juga harus diolah dengan benar dan dibuat sesuai dengan yang memakannya. Makanan yang baik juga tidak mengandung zat yang membahayakan tubuh manusia sehingga tidak merusak jaringan tubuhnya.
Dalam riwayat al-Hafiz Abu Bakar bin Murdawaih dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Demi zat yang diri Muhammad Saw ada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya yang memasukkan sesuap makanan haram kedalam perutnya, ibadahnya
tidak akan diterima Allah selama 40 hari. Hamba mana saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, api neraka lebih layak untuk melahapnya.”

Islam memposisikan konsumsi sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban. Keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Dalam Islam pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar), akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang stabil. Pemanfaatan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi.  
Terutama untuk melakukan kehidupan langsung di masa mendatang. Bahkan konsumsi sangat sensitif untuk dibahas, karena banyak perbedaan di antara beberapa daerah. Sedangkan untuk beberapa hukum yang ada dapat dipakai sebagai pedoman kehidupan sehari-hari. Apa yang dikaruniakan Allah kepada manusia sungguh banyak dan tidak terhitung.

Ada beberapa dalil yang menerangkan tentang konsumsi yang bisa
dijadikan sebagai acuan bagi seseorang:
1.      Anjuran untuk tidak berlebih-lebihan dalam berkonsumsi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang :

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf (7): 31)

Ayat ini merupakan bantahan terhadap kaum musyrikin yang melakukan thawaf di Baitullah sambil telanjang secara sengaja; laki-laki berthawaf pada siang hari dan perempuan pada malam hari. Maka Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu ketika memasuki masjid”. Yang dimaksud “perhiasan” di sini ialah pakaian untuk menutupi aurat. Kaum musrikin disuruh mengenakan baju setiap kali mau memasuki masjid. Berdasarkan ayat ini dan sunnah yang semakna dengan ayat itu, maka disunahkan untuk mempercantik diri setiap kali melakukan shalat, terutama shalat Jum’at, shalat Jamaah dan shalat Idul Fitri. Memakai parfum dan bersiwak merupakan pelengkap dalam menghias diri. Selain itu, ayat ini juga merupakan anjuran untuk tidak berlebihlebihan dalam berkonsumsi.
2.      Anjuran mengkonsumsi yang baik dan halal.
3.      Mengkonsumsi sesuatu dengan menyebut nama Allah, hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah:


فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’am (6): 118)
Allah membolehkan kepada hamba-Nya yang beriman memakan sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya. Artinya, Dia melarang memakan sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah, seperti memakan bangkai yang dibolehkan oleh kaum kafir Quraisy dan binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada umat Islam perkara yang diharamkan kepada mereka, kecuali apa yang terpaksa mereka memakannya (dalam kondisi madharat).

4.      Dalam mengkonsumsi harus punya prinsip.
Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
5.      Larangan bakhil dan boros dalam berkonsumsi. sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’ (17): 29)

a.       Dalam membelanjakan harta harus dalam kategori kebaikan dan menjauhi sikap kikir. Hal ini menjadi dasar bahwa harta yang diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung tetapi digunakan untuk kemaslahatan umat. Harta yang dititipkan kepada manusia bukan milik pribadinya tetapi ada hak orang lain didalamnya. Hal ini membuat manusia diharuskan untuk mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah dan wakaf.
b.      Dalam menggunakan harta tidak melakukan kemubadziran. Hal ini membuat manusia dilarang untuk bersikap boros atau berlebih-lebihan. Dalam mengeluarkan hartanya, manusia harus memiliki pengertian terhadap kebutuhan yang paling penting untuk pribadi dan keluarga. Meskipun dalam ayat di atas melarang adanya sifat kikir, tetapi pada ayat diatas juga melarang adanya pemborosan dalam hal penggunaan harta untuk konsumtif dan dalam memberikan sebagian hartanya sebagai zakat, infak, sadaqah dan wakaf. Jadi, manusia harus mengerti adanya pola keseimbangan dalam penggunaan hartanya.

6.      Allah menjelaskan tentang kesederhanaan sebagaimana dalam firman Allah SWT yang artinya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. al-Ma’idah (5): 87)

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Pemanfaatan konsumsi secara berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang disebut dalam Islam dengan istilah isyraf (pemborosan) atau tabzir (menghabur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan syari’at.


        
          Jual beli (belanja) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi  jual beli yang benar menurut hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentutanketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual beli (belanja).
Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan  tentang jual beli (belanja), diantaranya; ulamak  Hanafiyah “ Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) syara’ yang  disepakati”. Menurut  Imam nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.  

1)      Dasar hukum jual beli

Dasar  hukum jual beli adalah al-Qur’an dan alhadits, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Q.S.Al.Baqarah: 275)  

Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek jual beli yang mengandung riba.

Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi, Rasulullah SAW bersabda:

Dari Hurairah RA. Rasulullah SAW mencegah dari jual beli melempar kerikil dan jual beli garar (H.R. Muslim) (Muslim, t.th : 156-157).

Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh memaksa para pedagang  menjual baraang sesuai dengan harga dipasaran dan para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga dipasaran serta pedangan juga dapat dikenakan saksi karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat. Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya.

2)      Rukun dan syarat jual beli dalam islam

     Rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati).

 Adapun syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri.

Menurut jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat yaitu:
a.       Akad (ijab kobul)  pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang.
b.      Orang yang berakad (subjek) dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari (pembeli). keduanya harus :
Ø  Beragama islam.
Ø  Berakal.
Ø  Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya sendiri yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak dipaksa.
Ø  Baligh.
Ø  Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir).

c.       Ma’kud ‘alaih (objek) untuk menjadi sahnya jual beli harus ada ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.
Barang yang dijadikan sebagai objek jual beli ini harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
v  Bersih barangnya.
v  Dapat dimanfaatkan.
v  Milik orang yang melakukan akad.
v  Mengetahui jenis barangnya, zatnya, sifatnya, bentuknya, dan harganya.
v  Barang ada yang diakadkan sudah ada ditangan pemilik.
v  Mampu menyerahkan.

d.      Ada nilai tukar pengganti barang.



Syarat sahnya  barang yang dijual belikan diantaranya;

(a) harus suci dan tidak terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan, kecuali kondisi dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk pupuk tanaman, anjing untuk keamanan,
(b) tidak boleh  mengkait–kaitkan dengan  sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal, aku akan menjual motor ini,
(c) tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan untuk membayar tetapi hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu sebab kepemilikan,
(d) barang dapat diserahkan setelah kesepakatan akad,
(e) barang yang diperjual belikan milik sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila barang tersebut hasil mencuri atau barang titipan yang tidak diperintahkan untuk menjualkan,
(f) barang yang diperjual belikan dapat diketahui (dilihat), (g) barang yang diperjual belikan harus diketahui kualitasnya, beratnya, takarannya dan ukurannya, supaya tidak menimbulkan keraguan.

3)      Macam macam jual beli
§  Jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan rukun dan syarat yang sesuai.
§  Jual beli yang tidak dibolehkan:
ü  Jual beli yang diharamkan (jual beli bangkai, darah, babi, berhala, arak , dll)
ü  Jual beli sperma (mani) hewan.
ü  Jual beli ijon atau jual beli yang belum jelas barangnya.
ü  Jual beli barang yang belum ada wujudnya ditangan.
§  Jual beli yang sah tapi dilarang
·         Jual beli pada waktu shalat jum’at. Kegiatan jual beli ini dipandang melalikan kewajiban menunaikan sholat jum’at. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman apabila diserukan untuk menunaikan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumuah :9)
·         Niat untuk ditimbun.

Dalam jual belipun ada proses tawar menawar (khiyar), hukum tawar menawar hukumnya mubah (boleh). Tawar menawarterbagi menjadi 3 macam yaitu:
a.       Khiyar majelis dinyatakan gugur apabila dibatalkan
penjual dan pembeli setelah akad, apabila salah satu dari
keduanya membatalkan maka khiyar yang lain masih
berlaku dan khiyar terputus apabilah salah satu dari
keduanya telah meninggal dunia.
b.      Khiyar Syarat, yaitu penjual dan pembeli di
dalamnya disyaratkan sesuatu boleh penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai di
beli kalau tidak pas atau tidak cocok boleh di kembalikan.
Dalam penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu
yang baik oleh penjual maupun pembeli.
c.       Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkankesempurnaan benda – benda yang dijual belikan, misalnyajika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai rumahada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalikan barang tersebut kepada penjual.
       

BAB III KESIMPULAN


Kesimpulanya adalah kita selaku masyarakat ekonomi harus mengetahui tentang mengonsumsi sesuatu, dan dapat melakukan jual beli menurut rukun dan syarat yang telah ditentukan. Dan melakukan proses tawar menawar dengan cara yang baik dan benar.

           



Web:

https://www.bacaanmadani.com/2018/03/isi-kandungan-al-quran-surat-al-baqarah.html


Jurnal:

Tapsir ayat-ayat konsumsi dan inpikasinya terhadap pengembangan ekonomi islam oleh abdurrohman kasdi

Jual beli dalam perdagangan islam oleh shoribin

Buku:

Ayat dan hadist ekonomi karya Dr. Mardani








Makalah ( Ayat dan Hadist Ekonomi Konsumsi dan Jual-Beli) - Laras Aisah

MAKALAH AYAT DAN HADIS TENTANG KONSUMSI DAN BERBELANJA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen pengampu: Bpk. H. Zaena...